Patut disyukuri bahwa kini banyak media massa aetak memuat resensi buku. Kebaikan dan kebijaksanaan pengelola surat kabar atau majalah yang telah memberikan ruang bagi para peninjau buku, merupakan angin segar bagi para bookholic (kutu buku). Kondisi seperti ini amat jauh berbeda dengan warsa 1960, media massa begitu jarang memberikan ruang bagi peninjau buku. Itu artinya pendapat pribadi kian dihargai di negeri ini (Wilson Nadeak, 1994: 246).
Dari sekian buku dan artikel yang berbicara tentang resensi. Kata resensi memang jarang dipasang sebagai nama rubrik dalam media massa. Media massa menyediakan ruang resensi buku dengan beragam nama, seperti Tinjauan Buku, Pustaka, Bedah Buku, Resensi Buku, Kupas Buku, dan media bernapaskan Islam memakai ruang resensi dengan nama Kitabah atau Telaah Kitab. Padahal, semua itu pada hakikatnya berupa resensi.
Menurut Daniel Samad (1997: 1), resensi asal katanya dan bahasa Latin, yakni revidere (re= kembali dan videre= melihat) atau recensere, yang artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Dalam bahasa Belanda dikenal kata recensie, sedangkan dalam bahasa lnggris dikenal dengan istilah review. Semua istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas sebuah buku. Dengan adanya resensi buku, pembaca yang ada di seluruh Nusantara menjadi mudah dengan kabar buku terbaru sehingga menimbulkan minat mereka untuk ‘membeli’ dan membaca buku tersebut.
Pengertian “melihat kembali” meluas menjadi “mengatakan kembali” secara tertulis tentang pengalaman yang dirasakan dan dilihatnya atas sebuah karya (buku) dengan objektif. Simpulannya, resensi ialah suatu tulisan atau ulasan mengenai sebuah hash karya (buku).
Dalam praktiknya, resensi mi dibedakan aritara review (tinjauan) dan criticism (timbangan). Tinjauan berarti sajian laporan tanpa disertai opini pribadi peninjau sebab mungkin bukan seorang ahli dalam bidang yang dibicarakan pada buku bersangkutan sehingga tulisannya menyerupai ikhtisar atau ringkasan, sedangkan penimbang buku pasti mencerminkan opini pribadi resensi. Menimbang buku atau mengkritik buku itu akan bergerak dari satu objek ke subjek. Biasanya penulis resensi seperti ini seorang yang pakar atau setidaknya seseorang yang dianggap mengetahui persoalan persoalan bahkan resensinya cenderung merupakan hasil evaluasi. Tidak jarang pula berbau analitik dan interpretatif. Dalam hal ini, resensor itu tidak lagi membicarakan isi buku, tetapi konteks dan relevansinya.
B. Hal Penting dalam Resensi Buku
Dari sekian buku dan artikel yang berbicara tentang resensi. Kata resensi memang jarang dipasang sebagai nama rubrik dalam media massa. Media massa menyediakan ruang resensi buku dengan beragam nama, seperti Tinjauan Buku, Pustaka, Bedah Buku, Resensi Buku, Kupas Buku, dan media bernapaskan Islam memakai ruang resensi dengan nama Kitabah atau Telaah Kitab. Padahal, semua itu pada hakikatnya berupa resensi.
Menurut Daniel Samad (1997: 1), resensi asal katanya dan bahasa Latin, yakni revidere (re= kembali dan videre= melihat) atau recensere, yang artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Dalam bahasa Belanda dikenal kata recensie, sedangkan dalam bahasa lnggris dikenal dengan istilah review. Semua istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas sebuah buku. Dengan adanya resensi buku, pembaca yang ada di seluruh Nusantara menjadi mudah dengan kabar buku terbaru sehingga menimbulkan minat mereka untuk ‘membeli’ dan membaca buku tersebut.
Pengertian “melihat kembali” meluas menjadi “mengatakan kembali” secara tertulis tentang pengalaman yang dirasakan dan dilihatnya atas sebuah karya (buku) dengan objektif. Simpulannya, resensi ialah suatu tulisan atau ulasan mengenai sebuah hash karya (buku).
Dalam praktiknya, resensi mi dibedakan aritara review (tinjauan) dan criticism (timbangan). Tinjauan berarti sajian laporan tanpa disertai opini pribadi peninjau sebab mungkin bukan seorang ahli dalam bidang yang dibicarakan pada buku bersangkutan sehingga tulisannya menyerupai ikhtisar atau ringkasan, sedangkan penimbang buku pasti mencerminkan opini pribadi resensi. Menimbang buku atau mengkritik buku itu akan bergerak dari satu objek ke subjek. Biasanya penulis resensi seperti ini seorang yang pakar atau setidaknya seseorang yang dianggap mengetahui persoalan persoalan bahkan resensinya cenderung merupakan hasil evaluasi. Tidak jarang pula berbau analitik dan interpretatif. Dalam hal ini, resensor itu tidak lagi membicarakan isi buku, tetapi konteks dan relevansinya.
B. Hal Penting dalam Resensi Buku
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meresensi buku. Pertama, tujuan meresensi ialah menyajikan kembali kepada pembaca apakah sebuah buku (fiksi atau nonfiksi) layak mendapat sambutan dan masyarakat pembaca ataukah tidak.
Kedua, pertimbangan yang disampaikan peresensi disesuaikan dengan selera pembaca. Oleh sebab itu, pertimbangan yang disampaikan melalui sebuah media massa mungkin berbeda dengan pertimbangan lain yang dimuat media massa lainnya.
Ketiga, penulis resensi harus tahu betul tujuan penulis atau pengarang buku, yang bukunya hendak diresensi.
Keempat, peresensi mencantumkan riwayat buku (nama pengarang/penulis, nama penerbit, tahun terbit/ edisi, nama editor atau penerjemah, tempat terbit, jumlah halaman, dan harga buku).
Kelima, peresensi harus mampu menunjukkan atau meyakinkan pembaca tentang buku baru atau yang sudah langka di pasaran, termasuk golongan mana buku tersebut (fiksi atau nonfiksi).
Keenam, peresensi menunjukkan keunggulan buku (segi mana yang menarik dan buku yang hendak diresensis egi penulisan dan penetapan pokok yang khusus, segi organisasi karya (kerangka buku, hubungan satu dengan Yang lainnya jelas, ada perkembangan yang logis). Apakah bagian yang terdahulu menjadi sebab atau dasar bagi bagian yang lainnya. Segi bahasa (jelas, teratur, dan Segi perwajahan atau layout (salah cetak dan tanda baca) yang menganggu kenikmatan pembacaan. Kutipan atau bagian tertentu yang saling berjalinan dan mendukung antar bagian teks.
Hal yang patut diperhatikan juga ialah peresensi harus berotak dingin dan berhati hangat. ini artinya bahwa pekerjaan meresensi buku adalah menganalisis dan membandingkan sehingga ia harus berotak dingin dan berhati hangat agar intelektualnya tidak tertutup oleh emosi yang tidak terkendali. Gambaran seperti ini barangkali tampak pada kasus berikut.
Kedua, pertimbangan yang disampaikan peresensi disesuaikan dengan selera pembaca. Oleh sebab itu, pertimbangan yang disampaikan melalui sebuah media massa mungkin berbeda dengan pertimbangan lain yang dimuat media massa lainnya.
Ketiga, penulis resensi harus tahu betul tujuan penulis atau pengarang buku, yang bukunya hendak diresensi.
Keempat, peresensi mencantumkan riwayat buku (nama pengarang/penulis, nama penerbit, tahun terbit/ edisi, nama editor atau penerjemah, tempat terbit, jumlah halaman, dan harga buku).
Kelima, peresensi harus mampu menunjukkan atau meyakinkan pembaca tentang buku baru atau yang sudah langka di pasaran, termasuk golongan mana buku tersebut (fiksi atau nonfiksi).
Keenam, peresensi menunjukkan keunggulan buku (segi mana yang menarik dan buku yang hendak diresensis egi penulisan dan penetapan pokok yang khusus, segi organisasi karya (kerangka buku, hubungan satu dengan Yang lainnya jelas, ada perkembangan yang logis). Apakah bagian yang terdahulu menjadi sebab atau dasar bagi bagian yang lainnya. Segi bahasa (jelas, teratur, dan Segi perwajahan atau layout (salah cetak dan tanda baca) yang menganggu kenikmatan pembacaan. Kutipan atau bagian tertentu yang saling berjalinan dan mendukung antar bagian teks.
Hal yang patut diperhatikan juga ialah peresensi harus berotak dingin dan berhati hangat. ini artinya bahwa pekerjaan meresensi buku adalah menganalisis dan membandingkan sehingga ia harus berotak dingin dan berhati hangat agar intelektualnya tidak tertutup oleh emosi yang tidak terkendali. Gambaran seperti ini barangkali tampak pada kasus berikut.
Penulis buku Psikolinguistik: Suatu Pengantar karya Sri Utari Subiyakto Nababan, merasa dirugikan pihak peresensi buku, J.D. Parera, Karena merasa dirugikan, penulis buku menantang Parera untuk menulis buku sejenis itu. Tanggapan penulis buku kemudian dimuat H.U. Kompas (11 Agustus 1993). Berikut ini Nukilan pernyataan Sri Utari Subiyakto Nababan.
“Mungkin jarang kita temui suatu jawaban atau keterangan oleh periulis buku atas timbangan bukunya sebab bahan timbangan buku bukanlah materi untuk polemik karena dalam hal ini, oleh berbagai hal yang ditulis penimbang buku dapat menyesatkan pembaca, saya merasa perlu sebagal penulis untuk meluruskan beberapa hal. Timbangan buku yang bersangkutan (J.D. Parera, pen) tidak atau belum mengikuti konvensi timbangan buku karena sama sekali tidak membicarakan isi buku dan mengevaluasi penyajiannya, kecuali menyebutnya beberapa topik yang menurutnya ‘salah istilah’ atau ‘sepatutnya bukan kajian psikolinguistik’. Beliau (Parera, pen) hanya menguraikan topik-topik apa yang penimbang akan memasukkannya jika beliau menulis buku psikolinguistik (N. Daidjoeni, “Resensi Buku yang Ditolak Pihak Pengarangnya” Kompas, 5 September1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar